Dalam menjalankan aktifitas kehidupan mahluk hidup membutuhkan energi. Mahluk hidup yang dapat membuat makanan sendiri adalah tumbuhan, dengan cara fotosintesis. Tumbuhan sebagai autotrof dalam fotosintesis menghasilkan beberapa produk yang digunakan mahluk hidup lain sebagai pembangun energi, salah satu dari produk itu adalah karbohidrat. Karbohidrat dalam bentuk gula dan pati melambangkan bagian utama kalori total yang konsumsi manusia dan bagi kebanyakan kehidupan hewan, seperti juga bagi berbagai mikroorganisme. Karbohidrat juga merupakan pusat metabolisme tanaman hijau dan organisme fotosintetik lainnya yang menggunakan energi solar untuk melakukan sintesa karbohidrat dari CO2 dan H2O menjadi energi pokok sumber karbon bagi sel nonfotosintetik pada hewan, tanaman dan dunia mikrobial.
Meningkatnya penyakit degeneratif antara lain akibat adanya perubahan perilaku, gaya hidup, pola makan dan aktivitas yang tidak seimbang. Disebut juga sebagai penyakit degeneratif karena kejadian bersangkutan dengan proses degenerasi atau ketuaan sehingga penyakit degeneratif banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 2007). Oleh karena itu, asupan makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko penyakit degeneratif, terutama pada penderita atau orang dengan risiko penyakit diabetes militus (DM), hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain. Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa untuk prevalensi angka gizi lebih diperoleh sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%, prevalensi diabetes militus yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1 % dari jumlah penduduk usia > 15 tahun. Dan diperkirakan bahwa pada tahun 2030 mendatang prevalensi diabetes militus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes care, 2004 dalam Depkes, 2009).
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme insulin. Kadar glukosa darah meningkat sebagai akibat berkurangnya insulin. Perubahan ini akan diperburuk dengan meningkatnya sekresi glukagon oleh pankreas ke dalam tubuh.
Pengaturan pola makan khususnya karbohidrat berperan penting dalam terapi diabetes melitus. Bahan pangan dengan indeks glikemik rendah sebaiknya direkomendasikan untuk penderita diabetes melitus. Beras merupakan makanan pokok dan sumber karbohidrat utama bagi masyarakat Indonesia. Hingga saat ini beras putih merupakan jenis beras yang paling banyak dikonsumsi. Beras putih sering dianggap masyarakat tidak baik untuk penderita diabetes sebab indeks glikemiknya tinggi. Hal ini tidak sepenuhnya benar sebab beras putih sebenarnya memiliki rentang indeks glikemik yang luas. Salah satu beras putih yang paling banyak dikonsumsi adalah beras varietas IR-64. Selain beras putih, tersedia juga beras berwarna misalnya beras hitam. Beras hitam mulai populer di kalangan masyarakat karena mempunyai kemanfaatan yaitu kandungan serat yang tinggi dan baik dikonsumsi bagi penderita diabetes melitus (Rahayu, 2012).
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Kenyataan tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar tubuh (yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (fungtional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Konsep pangan fungsional sebenarnya sudah ada sejak lama. Menurut Subroto (2008) sekitar 2.500 tahun yang lalu Hippocrates pernah berkata ”Let your food be your medicine and let your medicine be your food” (gunakanlah makanan sebagai obatmu dan obatmu sebagai makanan). Dalam filosofi Hippocrates tersebut, pada konsentrasi tertentu, makanan bisa menjadi obat dan obat bisa menjadi makanan. Namun, pada konsentrasi tinggi (berlebih atau overdosis), makanan dan obat justru dapat menjadi racun bagi tubuh kita.
Ada beberapa istilah untuk makanan yang berpengaruh baik terhadap kesehatan yaitu : Functional food, Nutraceutical, Pharma food, Designer food, Vita food, Phytochemical, Food aceutical, Health food, Natural food dan Real food. Sampai saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal. Berikut disajikan beberapa definisi atau pengertian tentang pangan fungsional.
Di Jepang tahun 1991 makanan fungsional didefinisikan sebagai FOSHU (Foods for Spesified Health Used) yaitu makanan yang memiliki efek spesifik terhadap kesehatan karena ada kandungan senyawa kimia tertentu pada bahan makanan. Menurut Goldberg (1994) pangan fungsional adalah makanan (bukan kapsul, pil atau tepung) berasal dari ingredient alami. Dapat dan harus dikonsumsi sebagai bagian dari diet harian dan memiliki fungsi tertentu bila dicerna, membantu mempercepat proses tertentu dalam tubuh seperti : meningkatkan mekanisme pertahanan secara biologis, mencegah penyakit tertentu, penyembuhan dari penyakit spesifik, mengendalikan kondisi fisik dan mental, dan menghambat proses penuaan. The International Food Information mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat dasar. Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Astawan, 2011). Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Beras terdiri dari beberapa komponen yang meliputi karbohidrat (74,9-77,8%) sebagai penyusun utama, protein (7,1-8,3%), lemak (0,5-0,9%) dan vitamin (Kusmiadi, 2008). Beras juga dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional, yaitu bahan pangan yang mengandung satu atau lebih komponen yang mempunyai fungsi fisiologi tertentu dan bermanfaat bagi kesehatan. Berdasarkan warnanya beras dibedakan menjadi tiga jenis yaitu beras putih, beras merah, dan beras hitam. Perbedaan warna ini dipengaruhi oleh ada tidaknya antosianin dan tinggi rendahnya kadar antosianin tersebut (Harini dkk., 2013).
Beras hitam merupakan varietas lokal yang mengandung pigmen (terutama antosianin) paling baik, berbeda dengan beras putih atau beras warna lain. Beras hitam memiliki rasa dan aroma yang baik dengan penampilan yang spesifik dan unik. Beras hitam berasal dari tanaman padi hitam. Oryza sativa L. adalah nama ilmiah padi. Menurut Tjitrosoepomo (2005), kedudukan taksonomi dari Oryza sativa adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Poales (Glumiflorae)
Famili : Poaceae (Graminea)
Marga : Oryza
Spesies : Oryza sativa L.
Penyusun utama beras adalah pati. Pati merupakan polimer glukosa yang mempunyai 2 macam struktur, yaitu amilosa, rantai lurus 1-4α glukosida dan amilopektin, rantai polimer 1-4α glukosida dengan percabangan 1-6α. Perbandingan amilosa dan amilopektin ini akan menentukan sifat berasnya, beras yang mempunyai kandungan amilosa tinggi pada umumnya menghasilkan nasi yang kering dan tidak pulen (Gardjito dan Hastuti, 1988).
Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan oleh Rahayu (2012), nasi beras hitam memiliki karakter antara lain kadar gula pereduksi sebesar 20,83 ± 0,85 %b/b, kadar serat 33,53 ± 0,84 %b/b dan kadar air 30,03 ± 0,22 %b/b, sedangkan nasi dari beras varietas IR-64 memiliki kadar gula pereduksi sebesar 25,39 ± 0,22 %b/b, kadar serat 1,45 ± 0,64 %b/b dan kadar air 37,64 ± 0,54 %b/b. Hasil karakterisasi masing-masing sampel tersebut kemudian dianalisis dengan uji t sampel bebas. Hasil uji t menunjukkan bahwa nasi beras hitam memiliki kadar gula pereduksi dan kadar air lebih rendah daripada nasi beras IR-64 (p<0,05), sedangkan kadar seratnya lebih tinggi (p<0,05). Berdasarkan data tersebut, kadar serat kasar yang tinggi pada beras hitam disebabkan oleh adanya lapisan aleuron dan endosperm yang masih melekat pada bulir beras. Hal ini juga menghambat masuknya air ke dalam bulir beras sehingga kadar air nasi dari beras hitam lebih rendah daripada nasi dari beras IR-64. Selain itu, adanya kadar serat kasar yang tinggi juga menghambat pencernaan karbohidrat di dalam tubuh sehingga kadar gula pereduksinya menjadi lebih rendah.
Pada penentuan indeks glikemik, subyek yaitu kelinci New Zealand dipuasakan selama 10 jam sebelum diberi perlakuan. Subyek dipilih secara random dan dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan perlakuan antara lain kelompok glukosa, kelompok nasi beras hitam dan kelompok nasi beras IR-64. Kelompok glukosa diberi sediaan glukosa dengan dosis 0,47 g/kgBB, kelompok nasi beras hitam diberi sediaan nasi beras hitam dengan dosis 1,58 g/kgBB sedangkan kelompok nasi beras IR-64 diberi sediaan nasi beras IR-64 dengan dosis 1,45 g/kgBB. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dalam rentang waktu 2 jam yaitu pada menit ke-0, 15, 30, 60, 90 dan 120. Hasil kadar glukosa darah yang diperoleh kemudian dibuat kurva respon glukosa darah dan dihitung AUC-nya. Nilai indeks glikemik pangan uji dapat diperoleh dengan membandingkan AUC pangan uji dengan AUC glukosa standar dikalikan dengan 100.
Dalam penelitian tersebut, diperoleh nilai indeks glikemik nasi beras hitam yaitu sebesar 27 dan nasi beras IR-64 sebesar 93. Hasil uji t sampel bebas menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara indeks glikemik kedua sampel (p < 0,05) dimana indeks glikemik nasi beras hitam lebih rendah daripada nasi beras IR-64. Hal ini disebabkan oleh kadar serat kasar nasi beras hitam yang lebih tinggi dari nasi beras IR-64. Serat kasar dalam nasi beras hitam dapat menambah massa campuran makanan sehingga proses pencernaan karbohidrat terhambat. Hal ini mengakibatkan respon gula darah menjadi lebih rendah dan begitu pula indeks glikemiknya. Dengan demikian, nasi dari beras hitam dapat digunakan sebagai pangan alternatif dengan indeks glikemik rendah bagi penderita diabetes melitus.
Daftar Pustaka :
Astawan M. 2011. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Goldberg I. 1994. Introduction. In : Goldberg I.(Ed.). Functional Foods. Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. Chapman & Hall, New York.
Hutagalung H,. KARBOHIDRAT. Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Kusharto CM. 2006. Serat Makanan dan Peranannya Bagi Kesehatan. Jurnal Gizi dan Pangan. 1 (2) : 45-54
Lattimer JM and Haub MD. 2010. Effects of Dietary Fiber and Its Components on Metabolic Health. Nutrients, 2 : 1266-1289.
Marsono Y. 2007. Prospek Pengembangan Makanan Fungsional. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangkan “National Food Technology Competation (NFTC)”
Raghuver C and Tandon RV. 2009. Consumtion of Functional Food and Our Concerns. Review Article. Pak J Physiol . 5(1) : 76-83
Rahayu, M. 2012. Perbandingan Indeks Glikemik Nasi Dari Beras (Oryza Sativa L.) Varietas Hitam Dan Nasi Dari Beras Varietas IR-64 Pada Kelinci. Skripsi Universitas Airlangga.
Santosa A. 2011. Serat Pangan (Dietary fiber) dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Magistra. 75 : 35 - 40
Subroto MA. 2008. Real Food, True Health. Makanan Sehat Untuk Hidup Lebih Sehat.PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Suter IK. 2011. Pangan Fungsional dalam Kesehatan Ayurveda. Makalah disajikan pada Seminar Sehari dalam rangka Hari Ibu di Universitas Hindu Indonesia.
0 Comments